Buka-buka foto lama di fesbuk dan menemukan foto eksotis ini (ckkck). Ternyata saya dulu pernah foto dengan pose yang belakangan sangat saya benci. Dua jari. Iya, dua jari yang berhasil mengangkat seseorang menjadi presiden: pahlawan yang direkayasa. *eh
Mungkin perlu saya perkenalkan. Sebelah kanan dengan pose metal adalah Abdu Rozak alias Kojek. Sampeyan tidak usah mempertanyakan posisi tangan kirinya. Jangan berfikir yang iya-iya. Bahaya.
Nah yang imut-imut di sebelah kiri adalah Winaryo alias Ponari. Tapi plis sampeyan yang penyakitan tidak perlu mendatangi rumahnya dan meminta air dari batu ajaib. Sebab Ponari versi ini tidak mempunyai batu petir (yang katanya) berkhasiat menyembuhkan luka. Tapi mungkin dia memelihara batu akik.
Terakhir paling belakang, tidak lain tidak bukan adalah saya sendiri. Masih kelihatan muda dan cukup unyu. Ternyata satu hal yang tidak berubah. Senyum saya masih terlalu menawan.
Kalau tidak salah ini di Pantai Slamaran. Perjalanan kurang lebih 120 menit dari sekolah saya, SMK Muhammadiyah Kedungwuni, dengan mengendarai sepeda. Dulu memang saya dan kawan-kawan sering mengadakan mancing mania di sini. Sekedar melepas penat dari rutinitas sekolah yang menjenuhkan dan melatih daya sabar dari dunia yang semakin kurang ajar.
Memancing saya rasa hiburan yang paling sesuai dengan kantong saya pada waktu itu. Modalnya cuma senar pancing beserta kail dan sedikit urunan berapa rupiah untuk beli udang sebagai umpan. Kalau lagi kaya, kadang kita membawa bekal seplastik ketela-singkong dari pasar. Di bakar di pantai saat bulan bersinar di langit malam. Suasana yang sangat manis. Sederhana, tapi nikmatnya luar biasa.
Tidak ada tenda atau alat menginap apapun yang kami bawa. Kalau mau tidur, cukup di reumputan dengan alas plastik atau koran. Atapnya langit dengan bintang-bintang. Kadang diselingi dengan salak anjing yang berkeliaran di sepanjang garis pantai.
Pernah suatu kali tengah malam turun hujan. Kami yang saat itu sedang pulasnya tidur terbangun dan langsung lari ke gubuk-gubuk yang agak jauh. Peralatan pancing kami tinggal. Diambil besoknya. Jadilah kedinginan merambat sekujur tubuh, tidurpun tidak nyenyak karena tempat yang terbatas.
Pagi setelah sholat subuh biasanya kami akan jalan-jalan di sekitar pantai. Dulu belum banyak hape-hape canggih dengan fitur kamera yang pro-narsism. Atau mungkin saja sudah banyak, kami saja yang tidak punya. Foto ini kalau tidak salah, diambil dengan kamera hape Nokia milik Ghofar.
Kalau saja dulu sudah semodern sekarang mungkin tongsis dan kamera DSLR adalah peralatan yang wajib dibawa. Minimal smartphone bereseolusi tinggi. Foto-foto menantang ombak kemudian diupload ke jejaring sosial.
Kami menyusuri pantai semampu kaki berjalan. Sesekali mengejar kepiting yang larinya sangat cepat. Menulis apalah-apalah di pasir. Kadang kepikiran cari botol siapa tau ada surat di dalamnya. Ya apa saja yang dapat dilakukan kami lakukan. Udara segar pantai di pagi hari sangat eman dilewatkan begitu saja.
Setelah bosan jalan-jalan kami akan mengumpulkan kayu-kayu kering. Maka setelah itu akan ada bakar-bakar ikan hasil memancing semalam. Tidak banyak tapi cukup enak.
Komentar