Langsung ke konten utama

Melepas



Selepas sholat isyak saya rehat sejenak sembari menunggu diskusi hari pahlawan yang diadakan kawan-kawan IMM dimulai. Saya membuka BBM, sekadar melihat-lihat kabar atau sesuatu yang dibagikan kawan-kawan. 

Tidak ada sesuatu yang menggoda saya untuk berkomentar malam ini. Sebagian besar beranda hanya berisi ‘mendengarkan lagu’ dan cuitan para gagal asmara yang begitu khas.  mungkin saja mereka sedang berikhtiar menggaet jomblo-jomblo lain lewat reracauan puitis. Atau membeberkan kesengsaraan asmaranya. Lantas berharap sosok kesepian disana merasa iba kemudian dengan legowo memberikan puing-puing cinta padanya. 

Sebagian teman ganti nama akun. Ganti nama di media sosial memang tidak terlalu sulit. Relatif gampang malah. Sampeyan tinggal klik sunting akun kemudian pilih nama yang diinginkan. Sungguh sebuah solusi berkelas buat sampeyan yang merasa namanya tidak mengandung unsur estetik. Di dunia nyata, tidak segampang itu. Minimal sampeyan harus buat bubur warna-warni, revisi akta kelahiran di kelurahan serta konsultasi nama ke Pak Ustaz biar mendapat berkah.

Sisanya pamer foto dan ID game duel otak. Permainan yang memungkinkan beradu pintar satu sama lain.  Sampeyan akan disuguhi pertanyaan dengan empat pilihan jawaban, tergantung tema yang dipilih oleh sampeyan dan lawan secara bergilir. Lumayanlah buat sampeyan yang ingin mengukur kapasitas otak. Sangat direkomendasikan untuk sampeyan yang punya cita-cita ikut acara Ranking 1. Pinter nggak tuh?

Lepas-melepaskan

Sebelum saya menutup BBM, mata saya tertuju pada postingan mbak Nurfadhilah, orang yang kerap meminjam buku saya dalam durasi yang lama. Sebuah gambar:


“Dalam perkara melepaskan, bukan masalah siap atau tidak, melainkan ikhlas atau tidak.”


Fikir saya, mungkin Mbak Nur sedang galau karena cintanya bertepuk sebelah tangan. 

Terang saja hal ini membuat saya tergerak untuk berdialog dengan diri sendiri. 

Dalam dunia yang fana ini, perkara lepas-melepaskan adalah sesuatu yang mutlak dialami semua keturunan manusia. Melepas adalah satu fase hidup yang kita; saya dan sampeyan akan mengalaminya. Dalam keadaan sadar maupun tidak. 

Sewaktu kecil sampeyan mempunyai keluarga serta saudara yang mengelilingi. Dunia seakan tersentral di tempat sampeyan menginjakkan kaki. Selalu ada orang yang tersenyum menyapa, menggandeng tangan, dan mengajari hal-hal baru dengan penuh kasih sayang; sesuatu yang mungkin sampeyan rindukan saat ini.

Bertambah umur, satu persatu dari mereka mulai hilang. Ada yang pindah tempat tinggal. Melanjutkan pendidikan ke tempat yang jauh. Sibuk menghadapi problematika hidup. Bertambah tua, ada yang meninggalkan dunia untuk selamanya. Dalam posisi itu sampeyan mengalami proses melepas; merelakan orang-orang yang sampeyan sayangi dan menyayangi sampeyan, berjalan mencari dan nmenemui takdirnya sendiri. 

Mungkin sampeyan pernah punya sosok idaman. Sampeyan menyukainya. Dia juga sama. Lalu bersepakat mengikat rasa. Berjalannya waktu, masalah mulai datang menghampiri. Dia memutuskan untuk mengakhiri secara sepihak. Tidak bisa diganggu gugat. Sementara sampeyan yang masih cinta tidak bisa berbuat apapun. Tercekat. Hanya bisa memandang punggungnya sampai hilang di belokan jalan. 

Saat itu, siap atau tidak, sampeyan harus merelakan dia berjalan mencari jalannya sendiri. Belajar memesrai kesendirian tanpa dia yang mungkin tiap hari berada di samping. Menyediakan tangan untuk sampeyan genggam dan bahu untuk sandaran. 

Siap atau tidak, sampeyan harus rela melepaskan. Mengikhlaskan dia berjalan...

Berjalan dengan gebetan barunya. 

Sumber gambar : ekahidayatullah.com



Komentar

Rekomendasi

Tuhan-Tuhan Kecil

Sebagian manusia dengan segala kelebihannya sadar atau tidak menjelma menjadi Tuhan-Tuhan kecil. Mengatur seenak hati, segala omongannya harus dituruti, dan antikritik. Mengklaim apa yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran dan harus diyakini,diperhatikan,diamalkan. Tanpa mereka sadar bahwa manusia punya banyak kekurangan. Orang-orang seperti ini selalu mengedepankan ego. Ingin selalu didengarkan, ingin selalu diperhatikan, ingin ditempatkan diposisi tertinggi. Tapi disaat bersamaan mereka menutup telinga dari pembicaraan orang luar, acuh terhadap sekitar dan menginjak-injak harga diri orang lain. Bicara masalah perasaan tapi menyakiti perasaan manusia lainnya. Ada semacam inkonsistensi disini. Mungkin mereka lupa bahwa bukan cuma mereka yang memiliki perasaan. Orang lain juga. Antikritik. Mungkin karena pandangan subyektifnya merasa benar maka segala tindak tanduknya dianggap juga benar. Ketika ada teguran dianggap angin lalu saja. Yang lebih parah adalah ketika dit...

Sore Kala Itu

          Sore mengingatkanmu tentangnya. Dia yang hadir membawa setitik keindahan yang sulit dijelaskan. Keindahan yang tercipta dalam diam. Kalian tidak pernah berbicara, hanya saling lempar senyum saat berpapasan. Bagimu sudah cukup. Maka sore adalah waktu yang tak akan kau lewatkan begitu saja. Kau selalu menyempatkan melewati jalan yang biasa kau lewati. Berharap yang kau cari ada disana. Detak jantungmu meningkat begitu sosoknya mulai terlihat. Kau ingin berbalik dan mengurungkan untuk menyapanya. Tapi itu tak akan kau lakukan. Bagimu beberapa detik di sampingnya—meski hanya sesaat, adalah kebahagian yang barangkali sulit terulang. Kau tak selamanya bisa bertemu dengannya, kan? Langkahmu semakin cepat saat dia semakin dekat. Berharap dia tidak melihat wajahmu yang tetiba malui. Kau ingin situasi ini segera berlalu. Namun di sisi lain kau mengharapkan waktu melambat dan mengabadikan senyummnya yang membuatmu tak bisa terlalu la...

Senandika

Semua yang tertanam masih ada kemungkinan akan tercerabut. Semua yang tersembunyi cepat atau lambat akan terlihat. Maka bukalah topengmu , tampakkan wajahmu dengan percaya dirimu. Hancurkan kesombongan-kesombongan yang menguasai hatimu. Hempaskan dendam setinggi-tingginya kemudian pukullah sekeras-kerasnya sampai ia hilang tertelan bumi.   Runtuhkanlah egomu dan akhiri segala dendam yang selama ini kau tanam. Seperti ranjau yang apabila terinjak akan meledak saat itu juga, aku tak ingin melihat kau terluka berdarah-darah. Kalaupun luka itu ringan, kau pasti tak akan pernah menginjakkan kaki di tempat yang sama—tempat yang di dalamnya memendam senjata mematikan.  Aku melihat semangat yang kau bangun mulai memudar. Terhapus oleh keangkuhan dan keegoisan yang makin menjadi-jadi. Wajah yang penuh amarah menjadi pandangan wajib tatkala kau ‘harus’ bertatap muka dengan manusia-manusia itu. Harusnya kau mampu menahan amarahmu dan memberikan sedikit sunggingan seny...