Langsung ke konten utama

Di Balik Festival Lampion




“Mas, dimana? Ayo ke festival lampion. Ditunggu.” SMS Jouna pada suatu malam.

Saya berfikir sejenak. Menimbang baik-buruk juga menganalis S.W.O.T. Membuat detail rancangan, konsep, dan teknisnya. Ini penting dilakukan jika sampeyan ingin sukses dan mampu menguasai pasar.

Oh, maaf, saya sedikit lebay.

“Sama siapa aja?”

Sekedar info, Jouna ini cewek. Saya tidak mau jalan cuma berdua. Karena yang ketiga adalah setan. Sebagai pemuda yang lemah iman. Sedikit bisikan dari Mas Setan bisa membuat saya lupa diri. Takutnya khilaf melakukan sesuatu yang (tidak) kita inginkan.

Beberapa saat kemudian Jouna membalas

“Banyak, ada Mas Husein juga.”

Bergegas saya menuju lokasi ketemuan

--

Mendekati imlek, sejumlah acara menyambut tahun baru China ini mulai bertebaran. Salah satunya festival lampion dengan beragam rupa dan bentuk. Bagi masyarakat perkotaan yang gumunan serta komunitas anak kos yang kurang piknik dan jarang mudik, acara semacam itu selalu mengundang sensasi untuk didekati. Untuk jomblo, tentu merupakan kesempatan ekslusif untuk tepe-tepe dengan gebetannya.

Seperti dugaan saya, kawasan Pasar Gede yang menjadi pusat perayaan lampion begitu sesak dipenuhi pengunjung. Rata-rata mereka ke sini rombongan. Tidak sedikit pula yang berdua dengan pasangan. Mereka yang tidak punya sanak saudara mlipir ke  depan pintu masuk, untuk sekedar nyawang. Sesekali bersama juru parkir melemparkan suitan kepada pasangan yang kedapatan senggol-senggolan.

Saya datang bersama Zulfikar, Deo, Baskoro, Alvian, Setya, Neno, Husein. Menyusul kemudian Basroni dan Jouna. Kecuali saya, semuanya berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Hukum. Okey, itu tidak penting.

Lampion dengan bermacam rupa menyambut kedatangan kami. Tiap penjuru ada-ada saja lampion yang dipamerkan. Dari yang bentuk pohon sampai hewan ada disini. Saya jadi berasa sedang berada di daerah konservasi atau taman margasatwa.

Hal pertama yang dilakukan ketika memasuki sebuah kawasan adalah mencari angel yang tepat untuk foto. Ya, ini semacam bukti autentik. Jadi, ada bahan buat pamer di instagram. Semua tenggelam asyik dengan aktivitas pemotretan dan selfienya. Memang benar, ketika jalan-jalan, selfie adalah sebuah keniscayaan.

Sementara kawan-kawan saya yang alaynya subhanallah, bergelut dengan keautisannya, saya memilih berkeliling melihat-lihat. Kira-kira sepelemparan batu berjalan, kawan-kawan saya hilang.

Mereka raib dari tempat terkahir saya melihat.
-

Sebelum saya benar-benar bingung dengan misteri hilangnya mereka, Husein muncul tiba-tiba..

Seperti musafir yang menemukan oase digurun pasir saya bergegas lari ke arahnya. Saking senangnya, saya merengkuh tangan dan memeluknya. Kemudian larut dalam kegembiraan.

Tentu saja itu hanya terjadi dalam imajinasi liar saya. Yang saya lakukan hanya bersikap biasa, menanyakan kemana kawan-kawan yang lain. Tapi ya begitu, ternyata Husein juga kehilangan jejak mereka. 

Dalam pencarian kawan-kawan yang hilang, saya dan Husein ditawari mampir ke salah satu stand yang menyediakan konsultasi gratis. Difikir saya orang yang banyak masalah kali ya.

“Bisa ngeramal juga, Mas. Gratis” kata mas-mas yang memegang brosur, promosi.

“Ayo mampir, Muf” Ajak Husein.

Saya mengiyakan setelah sebelumnya sempat menolak. Sampeyan jangan salah sangka, tujuan saya main ramal-ramalan hanyalah iseng saja. Sekedar hiburan. Tidak tau kalau Husein. Dia sepertinya punya sesuatu yang sangat ingin ditanyakan.

“Silakan diisi dulu mas” Kata mbak-mbak yang sepertinya jadi juru ramal memberikan buku tamu.

Husein dapat giliran pertama.

“Sudah siap, Mas?” Mbak Peramal memastikan kesiapan Husein. Ekspresi Husein memang sedikit meragukan. Ada semacam tekanan dalam raut wajahnya. Seperti kebelet pipis.

“Siap” Jawab Husein dengan sedikit kaku.

“Oke, Masnya mau tanya apa dulu? Karir? Jodoh juga boleh?” Ucap Mbak Peramal sembari memberikan kartu ke Husein.

“Karir aja dulu, Mbak, hehe” Jawab Husein dengan senyum nggapleki.

“Oke. Karir tahun berapa, Mas?”

“Tahun ini, Mbak.  Insya Allah tahun ini kan lulus, kira-kira karirnya gimana”

“Ambil 3 kartu”

Husein mengambil 3 kartu seperti yang diperintahkan. Lantas menyerahkan kepada Mbak Peramal.

“Oke. Ini tahun 2016, ini tahun 2017, ini tahun 2018.” Mbak Peramal menunjuk kartu pilihan Husein.

Dibalik kaca matanya, Husein menatap kartu yang dipilihnya lekat-lekat. Mungkin berharap ramalannya akan baik-baik saja.

“Tahun 2016 belum, Mas. Belum dapat.” Mbak Peramal membuka kartu pertama.

Hmm..

“Tahun 2017 nanti Masnya akan mengalami pembelajaran. Misal magang di tempat mana.” kartu kedua dibaca.

“Ya memang harus gitu dulu, Mbak, hehe.” Husein sedikit cerah

“Nah, baru tahun 2018 Masnya udah dapat pekerjaan yang cocok.”

Husein makin sumringah.

“Apalagi, Mas?”

“Jodoh, Mbak. Tadi kan udah dapat pekerjaan, terus jodohnya gimana, hehe” Entah kenapa orang ini ketawa terus.

“Oke, Pilih 3 kartu lagi.”

Husein langsung memilih.

 “Ini awal 2018, ini tengah 2018, ini akhir 2018.”

Husein mulai tidak sabar. Duduknya bergeser.

“Awal tahun 2018, Masnya udah punya calon.”

Senyum Husein mengembang.

“Tapi Masnya masih terbayang-bayang masa lalu. Masih ada kenangan dengan dia di masa lalu. Susah untuk menghilangkannya. Intinya, Masnya belum bisa move on dari si dia.”

Sebenarnya saya ingin tertawa, tapi demi menjaga hati Husein saya cukup mesem saja. Siapa sangka kawan saya yang satu ini, pria berkaca mata dengan gestur wajah kearab-araban ini, ternyata mempunyai hati yang sedemikian rapuhnya dalam urusan percintaan. Ingatannya sangat kuat. Saking kuatnya sampai-sampai tidak bisa mengusir bayangan dia yang di masa lalu.

“Nah ini, pertengahan tahun. Masnya melakukan pendalaman dengan calonnya.”

Cieee...

“Akhir tahunnya, emm, Masnya kembali lagi terbayang-bayang dengan dia di masa lalu. Lagi-lagi gagal move on.”

Hahahaha... Kali ini tawa saya benar-benar pecah. Biar saja. Saya jadi penasaran dengan sosok yang mampu membuat Husein jadi semiris itu.

---

Giliran saya yang mengambil kartu.

“Karir, Mbak.” Kata saya.

“Ambil satu kartu” Perintah Mbak Peramal.

“Masnya berada di tengah-tengah pedang. Maju kena mundur kena. Sementara harus diam di tempat dulu.”

Saya jadi teringat film warkop DKI pas Mbaknya sampai pada kalimat “Maju kena mundur kena.”

“Pertanyaannya dispesifikkan aja, Mas.”

Sepertinya Mbak Peramal mulai bingung dengan pertanyaan saya yang ngalor ngidul.

“Jadi gini, Mbak. Saya kan tahun 2018 insya Allah mau balik Pekalongan. Nah, Karir saya di Pekalongan bagaimana?” Tanya Saya lebih detail.

Kemudian saya mengambil beberapa kartu.

“Bisa, Mas. Di Pekalongan ada peluang. Coba kita bandingkan dengan di Solo. Peluangnya banyakkan mana. Ambil satu kartu sebagai pembanding.”

Saya mengambil kartu paling ujung.

“Mending di Pekalongan, Mas. Peluang di Solo lebih sedikit.”

“Masnya nanti di Pekalongan akan kerja sama dengan teman. Membuka usaha bisnis. Dan itu hasilnya lumayan.” Lanjut Mbak Peramal.

“Ada lagi yang mau ditanyakan?” Tawar Mbak Peramal.

“Jodoh, Mbak, kira-kira gimana? Teman saya tadi kan juga diramal jodohnya, hehe.”

Seperti biasa tiga kartu untuk awal, tengah dan akhir tahun.

“Awal tahun” kata mbaknya “Masnya harus memilih. Karena ada dua orang.”

Sesaat saya berfikir kalau Mbaknya mulai ngawur dalam membaca kartu ramalan. Wong Saya satu saja tidak ada lha kog ini katanya ada dua orang dan harus dipilih. Siapa sosok yang akan saya pilih jika pilihannya saja saya tidak tau?

Meski begitu, ini lebih baik ketimbang ramalan gagal move on.

“Tengah tahun. Sudah ada, Mas. Sudah ada pilihan.”

Saya tersenyum lebar sambil melirik ke arah Husein. Sungguh, sepertinya cerita saya akan berakhir bahagia seperti dalam drama. Tidak sabar menunggu kartu ketiga dibuka.

“Akhir tahun....”

Saya menghela nafas. Mbaknya tersenyum, sepertinya pertanda baik.
.
.
.
“Akhir tahun bubar, Mas”
----

Komentar

Rekomendasi

Tuhan-Tuhan Kecil

Sebagian manusia dengan segala kelebihannya sadar atau tidak menjelma menjadi Tuhan-Tuhan kecil. Mengatur seenak hati, segala omongannya harus dituruti, dan antikritik. Mengklaim apa yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran dan harus diyakini,diperhatikan,diamalkan. Tanpa mereka sadar bahwa manusia punya banyak kekurangan. Orang-orang seperti ini selalu mengedepankan ego. Ingin selalu didengarkan, ingin selalu diperhatikan, ingin ditempatkan diposisi tertinggi. Tapi disaat bersamaan mereka menutup telinga dari pembicaraan orang luar, acuh terhadap sekitar dan menginjak-injak harga diri orang lain. Bicara masalah perasaan tapi menyakiti perasaan manusia lainnya. Ada semacam inkonsistensi disini. Mungkin mereka lupa bahwa bukan cuma mereka yang memiliki perasaan. Orang lain juga. Antikritik. Mungkin karena pandangan subyektifnya merasa benar maka segala tindak tanduknya dianggap juga benar. Ketika ada teguran dianggap angin lalu saja. Yang lebih parah adalah ketika dit...

Sore Kala Itu

          Sore mengingatkanmu tentangnya. Dia yang hadir membawa setitik keindahan yang sulit dijelaskan. Keindahan yang tercipta dalam diam. Kalian tidak pernah berbicara, hanya saling lempar senyum saat berpapasan. Bagimu sudah cukup. Maka sore adalah waktu yang tak akan kau lewatkan begitu saja. Kau selalu menyempatkan melewati jalan yang biasa kau lewati. Berharap yang kau cari ada disana. Detak jantungmu meningkat begitu sosoknya mulai terlihat. Kau ingin berbalik dan mengurungkan untuk menyapanya. Tapi itu tak akan kau lakukan. Bagimu beberapa detik di sampingnya—meski hanya sesaat, adalah kebahagian yang barangkali sulit terulang. Kau tak selamanya bisa bertemu dengannya, kan? Langkahmu semakin cepat saat dia semakin dekat. Berharap dia tidak melihat wajahmu yang tetiba malui. Kau ingin situasi ini segera berlalu. Namun di sisi lain kau mengharapkan waktu melambat dan mengabadikan senyummnya yang membuatmu tak bisa terlalu la...

Senandika

Semua yang tertanam masih ada kemungkinan akan tercerabut. Semua yang tersembunyi cepat atau lambat akan terlihat. Maka bukalah topengmu , tampakkan wajahmu dengan percaya dirimu. Hancurkan kesombongan-kesombongan yang menguasai hatimu. Hempaskan dendam setinggi-tingginya kemudian pukullah sekeras-kerasnya sampai ia hilang tertelan bumi.   Runtuhkanlah egomu dan akhiri segala dendam yang selama ini kau tanam. Seperti ranjau yang apabila terinjak akan meledak saat itu juga, aku tak ingin melihat kau terluka berdarah-darah. Kalaupun luka itu ringan, kau pasti tak akan pernah menginjakkan kaki di tempat yang sama—tempat yang di dalamnya memendam senjata mematikan.  Aku melihat semangat yang kau bangun mulai memudar. Terhapus oleh keangkuhan dan keegoisan yang makin menjadi-jadi. Wajah yang penuh amarah menjadi pandangan wajib tatkala kau ‘harus’ bertatap muka dengan manusia-manusia itu. Harusnya kau mampu menahan amarahmu dan memberikan sedikit sunggingan seny...