Langsung ke konten utama

Guru Ngaji

Di kampung saya, ketika anak sudah masuk usia sekolah, adalah sebuah keharusan mulai belajar membaca Alquran. Biar imbang antara kebutuhan dunia dan akhirat. Secara tidak langsung, kita diajarkan untuk tidak mendikotomi ilmu. Belajar ilmu dunia itu penting, belajar ilmu agama itu perlu.

Dulu TPA belum ada. Kegiatan belajar membaca Alquran diselenggarakan di teras masjid tiap bakda maghrib. Suasana sangat ramai. Anak-anak sangat antusias untuk belajar. Beberapa datang diantar orang tuanya. Mereka langsung mengerubungi guru ngaji yang mereka senangi untuk dapat giliran paling awal.

Masih ingat saya menggunakan buku iqra' yang sudah kusam, lungsuran dari kakak-kakak saya. Meski begitu saya tetap bangga. Saya membayangkan betapa senangnya sebentar lagi bisa membaca Alquran. Kemudian akan mengkhatamkannya untuk yang pertama kali. Lalu orang tua saya akan mengadakan syukuran kecil-kecilan atas capaian anaknya.

Dan yang terakhir tidak pernah terjadi. Hahaha

Guru yang mengajar pun bukan jebolan pesantren. Siapa saja yang mau mengajar, silakan. Asalkan dia mau dan mampu membaca Alquran.

Bapak saya satu dari sekian guru yang mengajar tersebut. Padahal sependek pengetahuan saya, bapak tidak pernah mengikuti pendidikan agama formal macam pesantren. Jangankan masuk pesantren, SD saja beliau tidak lulus gegara tiap sekolah kerap disuruh pulang untuk kerja di sawah. Tapi beliau bisa membaca Alquran dan mau mengajarkannya. Jadi sah-sah saja.

Sebagai anak yang tidak ingin durhaka kepada orang tuanya, tentu saja saya bergabung dengan kelompok yang diampu bapak saya. Keuntungannya, saya selalu dapat giliran pertama meski datang belakangan.

Jangan dikira dengan menjadi guru ngaji bapak mendapatkan materi berlimpah. Tidak. Tidak ada gaji. Mereka yang datang untuk mengaji pun tidak dikenai kewajiban membayar. Sekalinya dapat, seingat saya kalau tidak salah, setahun sekali menjelang/sesudah idul fitri. Kita jamak menyebutnya THR.

Tapi itu bukan masalah. Bagi bapak, mengajar ngaji adalah ibadah yang bisa beliau lakukan. Pahalanya akan terus mengalir sekalipun kelak beliau sudah tiada. Bayangkan saja jika satu orang yang bisa membaca Alquran karena bapak, rutin membaca Alquran tiap harinya. Satu huruf satu pahala, dan bapak ikut serta mendapat ganjarannya. Belum lagi kalau mengajarkan lagi kepada orang lain dan terus begitu. Pahalanya akan terus ada dan berlipat ganda. Bapak sedang berinvestasi akhirat.

Barangkali bapak sedang mengajarkan kami anak-anaknya untuk menjadi baik dan bermanfaat.

Bapak sadar betul, beliau tidak punya banyak harta untuk dibelanjakan. Maka, beliau berusaha menjadi pribadi yang baik. Tapi mungkin saja baik di mata kita belum tentu baik di hadapan Allah SWT. Maka, bapak mencoba menjadi bermanfaat. Mungkin dengan jalan menjadi guru ngaji. Dan itu berhasil, setidak-tidaknya bagi saya.

Sehat selalu, Pak. Semoga selalu dalam lindunganNya.

Komentar

Rekomendasi

Tuhan-Tuhan Kecil

Sebagian manusia dengan segala kelebihannya sadar atau tidak menjelma menjadi Tuhan-Tuhan kecil. Mengatur seenak hati, segala omongannya harus dituruti, dan antikritik. Mengklaim apa yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran dan harus diyakini,diperhatikan,diamalkan. Tanpa mereka sadar bahwa manusia punya banyak kekurangan. Orang-orang seperti ini selalu mengedepankan ego. Ingin selalu didengarkan, ingin selalu diperhatikan, ingin ditempatkan diposisi tertinggi. Tapi disaat bersamaan mereka menutup telinga dari pembicaraan orang luar, acuh terhadap sekitar dan menginjak-injak harga diri orang lain. Bicara masalah perasaan tapi menyakiti perasaan manusia lainnya. Ada semacam inkonsistensi disini. Mungkin mereka lupa bahwa bukan cuma mereka yang memiliki perasaan. Orang lain juga. Antikritik. Mungkin karena pandangan subyektifnya merasa benar maka segala tindak tanduknya dianggap juga benar. Ketika ada teguran dianggap angin lalu saja. Yang lebih parah adalah ketika dit...

Sore Kala Itu

          Sore mengingatkanmu tentangnya. Dia yang hadir membawa setitik keindahan yang sulit dijelaskan. Keindahan yang tercipta dalam diam. Kalian tidak pernah berbicara, hanya saling lempar senyum saat berpapasan. Bagimu sudah cukup. Maka sore adalah waktu yang tak akan kau lewatkan begitu saja. Kau selalu menyempatkan melewati jalan yang biasa kau lewati. Berharap yang kau cari ada disana. Detak jantungmu meningkat begitu sosoknya mulai terlihat. Kau ingin berbalik dan mengurungkan untuk menyapanya. Tapi itu tak akan kau lakukan. Bagimu beberapa detik di sampingnya—meski hanya sesaat, adalah kebahagian yang barangkali sulit terulang. Kau tak selamanya bisa bertemu dengannya, kan? Langkahmu semakin cepat saat dia semakin dekat. Berharap dia tidak melihat wajahmu yang tetiba malui. Kau ingin situasi ini segera berlalu. Namun di sisi lain kau mengharapkan waktu melambat dan mengabadikan senyummnya yang membuatmu tak bisa terlalu la...

Senandika

Semua yang tertanam masih ada kemungkinan akan tercerabut. Semua yang tersembunyi cepat atau lambat akan terlihat. Maka bukalah topengmu , tampakkan wajahmu dengan percaya dirimu. Hancurkan kesombongan-kesombongan yang menguasai hatimu. Hempaskan dendam setinggi-tingginya kemudian pukullah sekeras-kerasnya sampai ia hilang tertelan bumi.   Runtuhkanlah egomu dan akhiri segala dendam yang selama ini kau tanam. Seperti ranjau yang apabila terinjak akan meledak saat itu juga, aku tak ingin melihat kau terluka berdarah-darah. Kalaupun luka itu ringan, kau pasti tak akan pernah menginjakkan kaki di tempat yang sama—tempat yang di dalamnya memendam senjata mematikan.  Aku melihat semangat yang kau bangun mulai memudar. Terhapus oleh keangkuhan dan keegoisan yang makin menjadi-jadi. Wajah yang penuh amarah menjadi pandangan wajib tatkala kau ‘harus’ bertatap muka dengan manusia-manusia itu. Harusnya kau mampu menahan amarahmu dan memberikan sedikit sunggingan seny...