Langsung ke konten utama

Fragmen



Tulisan-tulisan memang menggerakkan ingatan: undangan dengan suluh kata untuk memendarkan nalar-imajinasi. Mozaik pengisahan mengartikan ada penghampiran atas bilik-bilik kesejarahan diri. Sepenggal biografi dialamatkan untuk kita sebagai sapaan dan renungan. Agenda merawat ingatan itu bakal menapaki zaman: memberi diri demi selebrasi biografi manusia. (Bandung Mawardi, Mengenang, hal 6, 2012)

Juli selalu mampu menghempaskanku ke dimensi silam. Menahanku di sana untuk menikmati setiap desiran rasa yang menyergap. Merangkai mozaik yang tercecer dari setiap sendi kehidupan yang terukir dalam sejarahku sendiri. Aku tak mau tapi aku tak kuasa menolak. Semakin merasuk Aku tersandera oleh ingatanku sendiri. 

Masa itu benar-benar panjang, sebuah proses yang pantang untuk dilupakan. Sebuah masa yang memberikan kenangan tersendiri, fragmen kehidupan yang duduk manis dalam sekat ingatan yang tak ingin digubris. 

Masa kecilku biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa dari sebuah keluarga kecil yang sederhana. Di balik dinding bambu itu, aku diajarkan bagaimana membaca hidup. Benar-benar membaca. Orang tuaku hanya memberikan sedikit wejangan sebagaimana wajarnya orang tua kepada anak. Selebihnya Aku menyelami sendiri kehidupan, mengambil pelajaran dari sebuah kejadian. Semua kejadian, apapun itu. “Selalu ada hikmah di balik setiap kejadian, termasuk musibah sekalipun.” Barangkali itu cara mereka mengajarkan kehidupan.

“Sekolah yang tinggi biar jadi orang pintar. Ojok koyo bapakmu.” Kata-kata itu yang selalu Bapak ucapkan setiap kali kami berkumpul. Barangkali kata-kata Bapak itulah yang menyihirku untuk patuh. Seperti tangan tak terlihat yang mendorong sekaligus menarik untuk terus melangkah, sampai saat ini. 

Dongeng, Sekolah dan Layangan Putus.
Masa kecilku penuh dengan dongeng. Bapak adalah pendongeng yang hebat, menurutku. Hampir setiap malam sebelum tidur aku selalu diceritakan dongeng. Aku selalu terbius dengan gaya bahasanya meski dongeng yang diceritakan itu-itu saja. Penyampaiannya menarik. Bapak bisa membuat cerita sama tapi dengan versi yang berbeda. 

Barangkali imajinasiku berawal dari sini. Aku sering menerjemahkan cerita-serita yang mengalir menjadi sebuah film dalam kepala. Aku membayangkan bagaimana sosok kancil. Dan ternyata sosok kancil sebenarnya jauh dari apa yang ada dalam imajinasi liarku.

Kadang juga terselip pesan dari setiap dongengnya “Jadi kamu jangan mencuri, nanti kualat seperti kancil tadi.” Pesannya saat membawakan dongeng Kancil mencuri timun. Aku menjawab dengan anggukan walau sebenarnya aku tak pernah benar-benar paham dengan arti kualat kala itu.   
  
Tidak gratis untuk sebuah dongeng. Aku harus memijit kaki Bapak, tentu saja dengan iming-iming dongeng tadi. “Ora tak dongengi lho..” Ancamnya setiap kali aku menolak. 

Cukup satu dongeng, dan aku akan tertidur dengan sendiri. Kalaupun sampai akhir cerita aku belum memejamkan mata, Bapak akan memaksaku.  “Besok sekolah” Katanya.

Aku sekolah di Madrasah milik Muhammadiyah. Muridnya tidak seberapa, hanya belasan, itupun semuanya warga kampungku. Jangan bayangkan sekolahku besar, untuk kelas saja masih ada shift-shiftan. Kelas satu masuk sampai jam sepuluh kemudian dilanjut oleh kelas dua. Selebihnya sudah mempunyai ruang kelas sendiri.

Di bagian selatan sekolah ada lapangan kecil yang biasa kami gunakan untuk bermain di sela-sela waktu istirahat. Kadang sore hari lapangan itu kami gunakan untuk bermain bola. Itu hiburan yang sangat menarik kami, apalagi kalo ada pertandingan persahabatan antar kampung, lapangan bisa penuh.

Aku tidak terlalu terlalu suka dengan upacara. Saat itu aku berfikir upacara hanya berpanas-panasan dan membuang-buang waktu saja. Satu-satunya hal yang kusuka adalah saat prosesi pengibaran bendera dan semua murid mengumandangkan lagu Indonesia Raya yang termasyhur itu.   

Setiap pulang kampung aku selalu melewati jalan samping sekolah. Satu-satunya akses untuk menuju ke kampungku. Jalan yang dulu selalu aku lewati setiap pagi dan siangnya. Aku selalu menyempatkan untuk melihat bangunan itu. Masih sama, hanya sedikit tambahan bangunan dan hadirnya taman-taman kecil depan kelas. 

Dalam samar kadang aku masih mendengar suara-suara bagaimana dulu kami bernyanyi lagu Tanah Air dengan keras dan beradu merdu. Ah ya, menyanyikan lagu itu selalu membuat kami semakin mencintai Indonesia, seburuk dan sejelek apapun orang mencela.

Musim layangan, sepulang sekolah biasanya aku akan menuju sawah. Sekedar melihat ramainya orang tumpah ruah di sawah. Tidak ada batasan umur. Jika ada layangan putus semua akan berlari untuk mendapatkannya. Aku turut serta berlari menjadi yang tercepat mendapatkan. Sejauh apapun layangan terbang terbawa angin, sejauh itu pula Aku akan terus mengejar. Mendapatkan layangan putus adalah kebanggaan tersendiri, meski sampai sekarang aku tak pernah mampu mendapatkannya. Setidaknya aku telah berusaha.

Kelihatannya persaingan memperebutkan layangan putus hanya sepele. Persaingan anak-anak dalam dunia kecilnya. Tapi semangat yang tergambar jelas dari wajah mereka menandakan bagaimana seriusnya mereka ‘meraih’ apa yang dikejarnya. Yang tidak kalah penting adalah keceriaan. Mengumbar tawa disetiap medan yang dilalui, sesulit apapun. Hidup juga perlu ditertawakan bukan?

Dari sini aku belajar bahwa hidup itu adalah kompetisi. Bersaing untuk yang terbaik. Berjuang menjadi garda terdepan untuk menjadi seorang pemenang. Kita adalah kompetitor. Bukankah dari awal penciptaan kita yang masih berupa sel sperma sudah berkompetisi dengan jutaan sel sperma lainnya untuk mendapatkan sel telur?






Komentar

Rekomendasi

Tuhan-Tuhan Kecil

Sebagian manusia dengan segala kelebihannya sadar atau tidak menjelma menjadi Tuhan-Tuhan kecil. Mengatur seenak hati, segala omongannya harus dituruti, dan antikritik. Mengklaim apa yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran dan harus diyakini,diperhatikan,diamalkan. Tanpa mereka sadar bahwa manusia punya banyak kekurangan. Orang-orang seperti ini selalu mengedepankan ego. Ingin selalu didengarkan, ingin selalu diperhatikan, ingin ditempatkan diposisi tertinggi. Tapi disaat bersamaan mereka menutup telinga dari pembicaraan orang luar, acuh terhadap sekitar dan menginjak-injak harga diri orang lain. Bicara masalah perasaan tapi menyakiti perasaan manusia lainnya. Ada semacam inkonsistensi disini. Mungkin mereka lupa bahwa bukan cuma mereka yang memiliki perasaan. Orang lain juga. Antikritik. Mungkin karena pandangan subyektifnya merasa benar maka segala tindak tanduknya dianggap juga benar. Ketika ada teguran dianggap angin lalu saja. Yang lebih parah adalah ketika dit...

Sore Kala Itu

          Sore mengingatkanmu tentangnya. Dia yang hadir membawa setitik keindahan yang sulit dijelaskan. Keindahan yang tercipta dalam diam. Kalian tidak pernah berbicara, hanya saling lempar senyum saat berpapasan. Bagimu sudah cukup. Maka sore adalah waktu yang tak akan kau lewatkan begitu saja. Kau selalu menyempatkan melewati jalan yang biasa kau lewati. Berharap yang kau cari ada disana. Detak jantungmu meningkat begitu sosoknya mulai terlihat. Kau ingin berbalik dan mengurungkan untuk menyapanya. Tapi itu tak akan kau lakukan. Bagimu beberapa detik di sampingnya—meski hanya sesaat, adalah kebahagian yang barangkali sulit terulang. Kau tak selamanya bisa bertemu dengannya, kan? Langkahmu semakin cepat saat dia semakin dekat. Berharap dia tidak melihat wajahmu yang tetiba malui. Kau ingin situasi ini segera berlalu. Namun di sisi lain kau mengharapkan waktu melambat dan mengabadikan senyummnya yang membuatmu tak bisa terlalu la...

Senandika

Semua yang tertanam masih ada kemungkinan akan tercerabut. Semua yang tersembunyi cepat atau lambat akan terlihat. Maka bukalah topengmu , tampakkan wajahmu dengan percaya dirimu. Hancurkan kesombongan-kesombongan yang menguasai hatimu. Hempaskan dendam setinggi-tingginya kemudian pukullah sekeras-kerasnya sampai ia hilang tertelan bumi.   Runtuhkanlah egomu dan akhiri segala dendam yang selama ini kau tanam. Seperti ranjau yang apabila terinjak akan meledak saat itu juga, aku tak ingin melihat kau terluka berdarah-darah. Kalaupun luka itu ringan, kau pasti tak akan pernah menginjakkan kaki di tempat yang sama—tempat yang di dalamnya memendam senjata mematikan.  Aku melihat semangat yang kau bangun mulai memudar. Terhapus oleh keangkuhan dan keegoisan yang makin menjadi-jadi. Wajah yang penuh amarah menjadi pandangan wajib tatkala kau ‘harus’ bertatap muka dengan manusia-manusia itu. Harusnya kau mampu menahan amarahmu dan memberikan sedikit sunggingan seny...