Ketika
bicara sudah dianggap sampah maka menuliskan kata-kata merupakan jalan tengah.
Jujur saja tulisan ini muncul dari keresahan tak berujung, yang tak pernah
tercukupi dengan omongan yang berbusa-busa.
Bukan berarti saya lelah untuk
berbicara. Sekali lagi bukan. Hanya saja sampeyan perlu cara lain ketika
omongan sampeyan sudah tidak mempan. Menulis misalnya. Kemungkinan besar
tulisan ini tidak akan digagas, tapi tidak menutup kemungkinan ada sedikit
orang yang menemukan sesuatu hal yang baru pada tulisan ini. Isi hati saya,
yang sebenarnya ingin saya pendam sendiri. Dus, saya tidak menuntut apapun.
Apalagi menuntut sampeyan untuk faham.
Majunya
teknologi tidak menjamin kehidupan manusia akan berjalan dengan mudah.
Komunikasi mungkin sangat gampang dipraktekkan. Tentu saja sesuai perkembangan
zaman, media social. Memanfaatkan media social untuk berinteraksi sudah
mengakar dalam nadi kita. Sehari tanpa hape bagai seminggu tidak makan, rasanya
jargon itu bukan sekedar omong kosong. Komunikasi lewat media sedikit demi
sedikit menggeser komunikasi kultural. Simpelnya, dunia maya lebih mengasyikkan
ketimbang dunia nyata. Kita hidup di dunia antah berantah yang untuk mengukur
kualitas hati seseorang dinilai dari poto profil, sering nge-like dan apdetan
status.
Sadar
atau tidak, tidak atau sadar kita dituntut untuk menjadi penafsir. Dimulai dari
kata-kata sok filsafat di status facebook, kita coba mengandai-andai suasana
hati seseorang. Membaca, mencoba menafsirkan kemudian membuat kesimpulan sesuai
kadar pahamnya. Hipotesis tidak selalu benar, kebanyakan malah salah kaprah.
Kebiasaan
menafsir terbawa dalam kehidupan nyata. Muncullah ilmu batin. Suatu ilmu yang
mempunyai fokusan mengawasi gerak tingkah, struktur wajah sampai lirikkan mata.
Kemudian dari hal-hal itu ditafsir kemudian dibuat kesimpulan.
Misalkan saja saya berbicara dengan sampeyan dan pandangan mata saya tidak menatap ke mata sampeyan tapi malah mata saya ditutupi tangan. Kemudian sampeyan membuat kesimpulan kalau saya tidak suka dengan sampeyan. Saya dituduh kurang ajar dan tidak sopan. Ini kan kesimpulan ngaco. Bisa saja alasan saya menutup mata adalah karena mata saya kelilipen atau bengkak.
Misalkan saja saya berbicara dengan sampeyan dan pandangan mata saya tidak menatap ke mata sampeyan tapi malah mata saya ditutupi tangan. Kemudian sampeyan membuat kesimpulan kalau saya tidak suka dengan sampeyan. Saya dituduh kurang ajar dan tidak sopan. Ini kan kesimpulan ngaco. Bisa saja alasan saya menutup mata adalah karena mata saya kelilipen atau bengkak.
Ilmu
batin mirip psikologi. Hanya saja dasar pijakannya lemah dan tidak didukung
oleh teori yang kuat. Jadilah ilmu ini masuk dalam kategori dhoif. Lemah, tidak
direkomendasikan untuk diajarkan, dipelajari, apalagi dipuraktekkan.
Ehm..
sebagai orang yang kadang juga suka mbatin saya punya langkah preventive buat
sampeyan yang kebacut ‘mbatin’ biar virus ini tidak memandekkan saraf sadar dan
mematikan hati sampeyan. Yaitu dengan melakukan tabayyun. Adanya kejujuran dan
saling keterbukaan membuat semuanya menjadi nyaman dan mengerti keadaan masing-masing.
Yang perlu digaris bawahi: tabayyunlah dengan orang yang tepat. Oh ya,
husnudzon itu perlu.
Bagi
sampeyan yang belum kesetrum virus mbatin, saran saya: sering-seringlah
beristighfar.
Itu saja.
Komentar