Langsung ke konten utama

Nostalgia dan Muhasabah



Beberapa hari lagi 2014 akan habis dan tergantikan 2015.   Tentu saja dengan menyisakan sepenggal kisah yang werno-werno. Bahwa di tahun  ini saya mengalami loncatan pemikiran yang begitu dahsyat, kehidupan kampus yang sering didramatisir dan kejadian-kejadian yang membuat sesak pikir. Dunia kampus tidak segampang di layar tancap.  Adakalanya benar. Tapi ya sudahlah, ini kenyataan yang harus di hadapi oleh calon-calon agent of apalah itu sebelum terjun ke masyarakat. Tapi disini saya tidak akan membahas kenyesekan-kenyesekan itu. Akhir tahun ini saya ingin bernostalgia dan muhasabah saja 
 
Saya jadi teringat semasa sekolah dasar. Di madrasah yang tidak begitu besar itu saya menuntut ilmu, belajar menulis dan membaca sampai  diceramahi tentang matematika dan agama. Saya harus bangga sekolah di madrasah, pertama karena biayanya lebih murah saat itu, kedua karena saya pintar.  Setiap pembagian raport, rangking saya tidak pernah keluar dari zona 3 besar. Bahkan 3 semester berturut-turut saya pernah menjadi penghuni rangking pertama. Mungkin pertimbangan rangking itulah saya berhasil masuk kedalam kelompok lomba cerdas cermat mewakili sekolah bersama 2 teman lainnya. 

Saya masih ingat ada 36 sekolah yang berpartisipasi. Agak grogi sih. Sempat juga sebelum masuk ke ruangan kami mendapat ejekan dari sekolah tetangga “wes nyerah wae”. Saya yang sabar dan baik hati cuma tersenyum simpul melihat hasil tim kami masuk final dan menjadi juara 4 pada akhirnya. Sayang saya tidak sempat pamer kepada sekolah tetangga yang mungkin sudah berada di rumah menahan asma.

Juara 4 mungkin sepele bagi sampeyan, tapi bagi kami pada waktu itu merupakan berkah dan kebanggaan. Kami bisa membuktikan bahwa madrasah swasta dengan murid yang sedikit dan bangunan yang atapnya bolong-bolong itu bisa menjadi salah satu yang terbaik. Ada rasa puas tersendiri. Hahah. Berbanding terbalik, lomba mapel IPA langsung keok di babak kualifikasi. Materi yang diujikan masyaAllah banget susahnya. Satu tahun kemudian saya baru diajarkan. Huluh. 

Di sekolah menengah lagi-lagi saya masuk di madrasah. Mau cerita gimana ya, kemampuan otak  saya sepertinya menurun. Lambat memahami materi dan males di tahun pertama dan kedua. Mungkin efek transisi pembelajaran dari anak-anak ke remaja ababil. Saya tidak bodo-bodo amat kog, buktinya saya bisa menjadi peringkat 6 di kelas IX. Cuma itu sih. Masa itu saya tidak punya prestasi yang patut di banggakan selain berhasil menjadi salah satu dari tiga belas orang yang lulus try out. Yang pinternya pake banget aja tidak lulus kog. Bangga? Haha. Oh oh saya juga pernah juara ding, lomba balap karung dalam rangka tujuh belasan.

Terpesona dengan slogan SMK BISA saya memutuskan mengambil sekolah kejuruan. Bermodal bismillah saya mengambil jurusan teknik otomotif dengan kompetensi keahlian teknik kendaraan ringan. Bukan tidak mau mengambil jurusan lain, masalahnya sekolah itu cuma ada satu jurusan. Jadi ya sudahlah. Prestasi akademik saya lumayanlah selalu masuk sepuluh besar dan selalu meningkat tiap semesternya. Tapi plis jangan tanya kepada saya perihal otomotif dan segala tetek bengeknya. Saya sudah lupa bahkan dari awal saya masuk, alias gagal paham. Memahami seluk beluk mesin membuat saya hampir nenggak baygon stres. Beruntung keajaiban selalu berpihak kepada saya dalam setiap ujian kejuruan.
 
Di SMK ini saya mulai belajar dan menyintai aktivitas menulis. Berawal dari ketidaksengajaan--saya tahu terakhir kalau sebenarnya yang di maksud itu Muflikhun bukan Muflikhin (kebetulan nama kita hampir sama).  Pada waktu itu guru saya mengundang saya dan salah seorang teman untuk mengikuti lomba menulis se-Jawa tengah.  Saya masih ingat betul tenggat waktu yang diberikan: satu minggu. Meski saya penggemar buku dan cerpen tapi bukan sebuah hal mudah  untuk menulis sendiri. Dengan susah payah saya buat, hasilnya: berantakan.

Sudah diprediksi dari awal saya tidak akan menjadi juara. Eh, malah tidak masuk juga dalam 20 cerpen terbaik ding. Tidak mengapa, itu semua terbayar dengan ketemu salah satu pegiat Forum Lingkar Pena, Afifa Afrah. Darinya saya belajar bagaimana cara menulis yang baik. Saya yakin karena kegagalan itulah beberapa bulan kemudian saya bisa menjadi juara pertama lomba menulis cerpen meski kelasnya kabupaten. Dan entah kenapa sampai saat ini menulis bagi saya merupakan kebutuhan. Ah lebay. Eh kog jadi ngelantur gini ya.. ya itulah masa lalu saya yang jika ditengok kembali rasanya kog lucu sekali. 

Kalau boleh sombong dulu saya agak cerdasan dikit lho. Tapi di masa kuliah yang sudah semester lima menginjak semester enam ini rasanya saya kog tambah pekok saja.  IP yang dibawah standar menjadi pemandangan yang sering menghiasai kartu hasil study. Dialektika agama yang belum juga berkembang dan pemikiran-pemikiran yang cenderung kolot. Sampeyan harus percaya dengan saya, mempelajari agama sama dengan mempelajari kondisi ummat, perlu kehati-hatian dan ojok kesusu. Pemahaman yang belum benar-benar paham harus perlu diasah lagi agar tidak keblinger, bukan?.

Sampeyan boleh tidak percaya dengan saya, tapi ya silakan coba buka kitab-kitab semisal bulughul maram, minhajul muslimin, tafsir ibnu katsir, mazhab-mazhab pemikiran islam atau yang lumayan ringan hadits arbain lah. Perlu perjuangan ekstra untuk memahami itu terlebih bagi orang seperti saya yang tidak ada relijius-relijiusnya sama sekali, perlu pembelajaran yang mendalam dan pemahaman tafsir yang harus lempeng agar tidak menyimpang dari kaidah-kaidah agama. Hermeneutika, ah saya tidak begitu faham. Tapi saya masih terus belajar kog disela-sela kesibukkan organisasai maupun aktivitas kerja. Kalaupun tidak, masih ada malam yang panjang.

Tapi mungkin itu pembenaran saya pribadi. Ngomong saja karena malas kog isin. Tapi yang jelas, saya harus terus berbenah di tahun 2015 nanti. Alangkah kurang ajarnya saya jika sering menggembor-gemborkan “Allah tidak akan merubah suatu kaum sampai ia merubahnya sendiri” tapi saya sendiri tidak mau merubah dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Dunia akan berubah sendiri tanpa usaha? Enak sekali, seperti dunia ini milik simbahmu.

Mungkin benar kata Dewi, Revolusi Kesadaran memang perlu. Sadar woy sadar!!!


Solo, 24 Desember 2014. 16.06 WIB



Komentar

Rekomendasi

Tuhan-Tuhan Kecil

Sebagian manusia dengan segala kelebihannya sadar atau tidak menjelma menjadi Tuhan-Tuhan kecil. Mengatur seenak hati, segala omongannya harus dituruti, dan antikritik. Mengklaim apa yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran dan harus diyakini,diperhatikan,diamalkan. Tanpa mereka sadar bahwa manusia punya banyak kekurangan. Orang-orang seperti ini selalu mengedepankan ego. Ingin selalu didengarkan, ingin selalu diperhatikan, ingin ditempatkan diposisi tertinggi. Tapi disaat bersamaan mereka menutup telinga dari pembicaraan orang luar, acuh terhadap sekitar dan menginjak-injak harga diri orang lain. Bicara masalah perasaan tapi menyakiti perasaan manusia lainnya. Ada semacam inkonsistensi disini. Mungkin mereka lupa bahwa bukan cuma mereka yang memiliki perasaan. Orang lain juga. Antikritik. Mungkin karena pandangan subyektifnya merasa benar maka segala tindak tanduknya dianggap juga benar. Ketika ada teguran dianggap angin lalu saja. Yang lebih parah adalah ketika dit...

Sore Kala Itu

          Sore mengingatkanmu tentangnya. Dia yang hadir membawa setitik keindahan yang sulit dijelaskan. Keindahan yang tercipta dalam diam. Kalian tidak pernah berbicara, hanya saling lempar senyum saat berpapasan. Bagimu sudah cukup. Maka sore adalah waktu yang tak akan kau lewatkan begitu saja. Kau selalu menyempatkan melewati jalan yang biasa kau lewati. Berharap yang kau cari ada disana. Detak jantungmu meningkat begitu sosoknya mulai terlihat. Kau ingin berbalik dan mengurungkan untuk menyapanya. Tapi itu tak akan kau lakukan. Bagimu beberapa detik di sampingnya—meski hanya sesaat, adalah kebahagian yang barangkali sulit terulang. Kau tak selamanya bisa bertemu dengannya, kan? Langkahmu semakin cepat saat dia semakin dekat. Berharap dia tidak melihat wajahmu yang tetiba malui. Kau ingin situasi ini segera berlalu. Namun di sisi lain kau mengharapkan waktu melambat dan mengabadikan senyummnya yang membuatmu tak bisa terlalu la...

Senandika

Semua yang tertanam masih ada kemungkinan akan tercerabut. Semua yang tersembunyi cepat atau lambat akan terlihat. Maka bukalah topengmu , tampakkan wajahmu dengan percaya dirimu. Hancurkan kesombongan-kesombongan yang menguasai hatimu. Hempaskan dendam setinggi-tingginya kemudian pukullah sekeras-kerasnya sampai ia hilang tertelan bumi.   Runtuhkanlah egomu dan akhiri segala dendam yang selama ini kau tanam. Seperti ranjau yang apabila terinjak akan meledak saat itu juga, aku tak ingin melihat kau terluka berdarah-darah. Kalaupun luka itu ringan, kau pasti tak akan pernah menginjakkan kaki di tempat yang sama—tempat yang di dalamnya memendam senjata mematikan.  Aku melihat semangat yang kau bangun mulai memudar. Terhapus oleh keangkuhan dan keegoisan yang makin menjadi-jadi. Wajah yang penuh amarah menjadi pandangan wajib tatkala kau ‘harus’ bertatap muka dengan manusia-manusia itu. Harusnya kau mampu menahan amarahmu dan memberikan sedikit sunggingan seny...