Tulisan ini
tidak akan membicarakan tentang rumahku atau rumahmu. Bukan pula tentang cara
praktis mendirikan rumah. Apalagi membicarakan rumah susun untuk rakyat
pinggiran. Bukan. Ini tentang rumah kita. Entah bagaimana kau mendefinisikan
tentang rumah kita. Tapi yang jelas, rumah ini berdiri karena kita ada.
Akhir-akhir
ini rumah kita terkena isu yang tidak sedap. Banyak yang nggrenengi. Bukan karena sang bapak kepergok mesum dengan istri
tetangga. Bukan pula sang ibu yang terlalu pelit mengeluarkan duit untuk
anak-anaknya. Anak tertua yang terjerat kasus narkoba juga bukan.
Lantas apa?
Ini
tentang ruang bernafas yang semakin minim oksigen. Konon rumah ini terlalu
sempit. Sementara penghuninya semakin bertambah. Kamar-kamar yang dulunya bisa
dibuat tidur dengan posisi seenak dengkul. Sekarang jangankan tidur, nongkrong saja susahnya melebihi membuat SIM tanpa nembak. Belum lagi kalau kesrimpet-srimpet
yang lain. Bisa lecet-lecet sampai kebawa mimpi.
Hak
bernafas yang terampas (mungkin) menjadi sebab yang memicu beberapa (berniat) untuk
hengkang. Meskipun itu tak pernah tersampaikan di musyawarah keluarga. Selalu
saja karena urusan masa depan yang diangkat. Kehidupan luar memberikan
kebebasan dan pilihan yang variatif untuk menjadi sukses. “Ini demi masa depan
saya” katanya.
Dengan
rasionalisasi (yang bagi beberapa irrasional) ini bukan hal mudah untuk
mencegah. Toh, kalaupun sang bapak beserta keluarga tidak mengizinkan mereka
akan semakin nekat. Mungkin dengan minggat
atau melaporkan ke komnas HAM. Sebenarnya
hal ini tidak perlu terjadi. Jika saja kita mau merenung dengan kondisi.
Meninggalkan rumah kita bukan solusi (terbaik).
Dengan kau pergi, rumah ini akan tetap sempit. Beberapa tahun kemudian mungkin akan semakin parah. Pada akhirnya rumah ini akan menjadi sarang kosong. Atau mungkin roboh dan rusak. Yang tersisa hanya kenangan-kenangan mak jleb dan melankolis. Tingkah konyol yang mampu membuat lambe mesam mesem dan gombalan-gombalan basi yang ternyata bisa membuat hati kesengsem menguap bersama hilangnya rumah kita.
Dengan kau pergi, rumah ini akan tetap sempit. Beberapa tahun kemudian mungkin akan semakin parah. Pada akhirnya rumah ini akan menjadi sarang kosong. Atau mungkin roboh dan rusak. Yang tersisa hanya kenangan-kenangan mak jleb dan melankolis. Tingkah konyol yang mampu membuat lambe mesam mesem dan gombalan-gombalan basi yang ternyata bisa membuat hati kesengsem menguap bersama hilangnya rumah kita.
Harusnya
kau bisa menawarkan solusi untuk merekonstruksi rumah kita. Diperlebar ruangnya
atau mungkin ditingkat menjulang keatas. Sehingga kau punya hak dan kesempatan
untuk bergerak lebih. Jumpalitan atau salto terserah kau saja. Bisa juga
ditambah dengan taman-taman bunga. Rumah kita akan lebih wangi dan menyegarkan
mata, bukan?
Tidak
perlu takut. Kau punya porsi yang sama dengan yang lain. Membangun rumah kita
dengan wacana-wacana intelektual dan aksi tanpa basa basi. Membentuk keluarga
yang humanis dan religious. Mencetak insan yang lebih baik yang bukan hanya
mentok di niat saja.
Kau
bisa menjalani hari-hari disini dengan leluasa berfikir. Silahkan cengengesan
dan mengoceh sampai mulutmu berbusa.
Buat rumah ini hidup dengan tawa dan pemikiranmu. Kau bisa ngopi-ngopi dan
berbagi pengalaman apapun di sini. Kau bisa melakukan diskusi keilmuan sembari tanganmu
sibuk memainkan kartu remi. Kau juga bisa membagi kesedihanmu, usap air matamu dengan tisu yang mereka tawarkan. Biarkan mereka menyimpan kesedihan hatimu yang terurai, dan mereka akan menggantinya dengan beberapa kali tamparan kebahagiaan.
Mbok yakin to,
di rumah ini ada selaksa kenangan yang mungkin akan selalu hadir dalam
fikiranmu di saat kau sendiri. Ada beribu catatan dan gambar tentangmu
yang tidak bisa terdokumentasikan oleh
gadget secanggih apapun. Percayalah, diciye-ciyein satu pleton manusia gaje lebih menancap di hatimu ketimbang kisah asmara yang tak pernah memihak kepadamu. Tanya hatimu
saja.
Komentar