Langsung ke konten utama

UGM, Malioboro dan Masha



Kebersamaan dan keberadaan teman yang selo, kurang pegawean dan punya energi iseng yang melimpah-ruah adalah alasan untuk tetap hidup. (Arman Dhani)
 

Setelah membantu menyopot bendera dan umbul-umbul di depan SMP M 2 Yogyakarta, jiwa petualang kami muncul. Saya, Toni, dan Abdur yang tergabung dalam ‘Trio Kepret’ yang entah atas usul dari siapa sudah berjalan menuju jalan besar. Jalan kaki. Bisa saja pakai motor sih, tapi demi melindungi bumi dari global warming karena asap kendaraan serta melakukan suksesi go green, jalan kaki merupakan hal yang solutif. 

Niat pertama mau masuk ke Taman Makam Pahlawan. Foto selfie bertiga dengan background salah satu nisan pahlawan indonesia. Keren bukan? Keren mbahmu. Ziarah untuk mengenang perjuangan para pahlawan yang dengan gigih memperjuangkan Indonesia tentu lebih relevan dibanding jeprat-jepret tanpa esensi, apalagi dengan gayamu yang sok imut itu.

Semangat para pahlawan harus kita internalisasikan dalam diri kita. Indonesia yang mereka perjuangkan, kini setelah merdeka, kita yang harus menjaga dan membangunnya kedepan. Ah sudahlah, tak perlu saya bicara panjang lebar, Taman Makam Pahlawannya tutup kok.

Ayo ke UGM” Celetuk abdur yang langsung kita sepakati. Dengan bermodal uang 5000 di saku, bodo amat, yang penting berangkat. Urusan pulang saya pasrahkan kepada dua orang yang menemani perjalanan konyol ini. Transportasi kami pilih TransJogja.

Beda dengan BST, di halte TransJogja ini ada penjaganya. Lumayan ada yang bisa diajak ngobrol buat kalian yang  jomblo. Oke oke saya jomblo, tapi kita bertiga.

Eureka!! Ini pertama kalinya saya naik TransJogja lho.. Hehe. Busnya enak, ada yang mbukain pintu, ada juga mbak-mbak mirip personel JKT48 yang menyambut dengan senyum ramah dan berkata araisemase. Ngga ding.

Eh, ternyata bus tidak langsung menuju ke tujuan, tapi transit di halte mana gitu. Ganti bus sesuai jalur yang dimaksud. Tidak perlu bayar lagi sih, tapi nunggunya itu lho yang setara dengan durasi film Mahabarata tanpa jeda iklan. Lama. Tambah mangkel lagi pas bus datang harus berdesak-desakan dengan penumpang lain mendapatkan tempat duduk paling nyaman. Endingnya saya harus menerima kenyataan pahit; berdiri. 

Dimana Abdur dan Toni? Dua kampret itu duduk dengan indahnya mengapit seorang penumpang cewek. Senyum nakal terukir di bibir kering mereka. Asem.

Meski berdiri, perjalanan tetap menarik. Mata selalu melihat keluar. Sudut-sudut jogja terlalu eman untuk dilewatkan. Sempat terbersit fikiran untuk keliling Jogja, naik TransJogja kemana saja tanpa berniat untuk turun kecuali kebelet pipis atau tersiksa lapar. Toh mbayarnya sama saja,kan?    

UGM

Akhirnya sampai juga di UGM. Bagi yang belum tau UGM merupakan singkatan dari Universitas Gajah Mada, bukan Utekmu Gur mangan (tok!). Universitas (yang katanya) terbaik di Indonesia. Lulusannya banyak yang menjadi orang-orang sukses. Itu yang saya tau dari cerita orang-orang. Tapi saya rasa yang tidak sukses juga banyak. Lha iya to masak lulusannya sukses semua.

Masa iya semua lulusannya jadi konglomerat, masa iya jadi pengusaha sukses semua, masa iya jadi Presiden semua? (Presidenmu kui yo lulusan UGM, rek) lantas siapa yang jualan batagor dan cakuwe? Lantas siapa yang jadi tukang odong-odong? Lantas siapa yang jadi rakyat jelata. Saya yakin banyak juga yang menganggur meratapi nasib.

Eh, tapi ada juga yang menganggur tapi tidak meratapi nasib. Lihat saja sekumpulan orang perut buncit yang dengan santainya duduk di kursi empuk di dalam gedung yang WCnya saja senilai dengan puluhan (mungkin ratusan, mungkin jutaan, mungkin...) truk jagung bakar oles mentega.  Mereka tidak ngapa-ngapain. Bisanya cuma haha-hihi haha-hihi dan membuat dagelan. Tapi suplay dana terus  mengalir ke kantong-kantong pribadi. Tinggal tunggu saja aliran itu berubah menjadi arus besar dan deras yang menyeret dan menenggelamkan. 

Hanum Salsabila Rais, penulis buku 99 Cahaya di Langit Eropa itu katanya juga dosen UGM. Di kampus saya. seminar yang mendatangkan Hanum dipersiapkan selama berbulan-bulan. Maklum saja beliau wanita sibuk yang tidak bisa diundang kapan saja. Kalendernya mungkin penuh dengan coratcoret jadwal ngajar sampai seminar-seminar kepenulisan. Kalau mahasiswa sini pengen mengadakan seminarnya Hanum, mungkin cukup mengadakan kuliah umum dengan persiapan yang sesingkat-singkatnya.

Dengan bantuan denah di seberang, kami berjalan melewati koperasi mahasiswa dan menapaki jalan mana saja yang dianggap mampu mengantarkan kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia Auditorium UGM.

Di Auditorium. tidak ketinggalan foto-foto dulu sebagai bukti otentik kalau kita pernah di sini. Sempat juga merekam video siapa tau di kemudian hari bisa menjadi bekal untuk melamar jadi artis. Barangkali ada produser yang tertarik dengan kemampuan kami di video itu.

Setelah muter-muter tanpa tujuan yang jelas, ditambah matahari yang semakin eksistensialis, masjid menjadi tujuan ngadem paling direkomendasikan. Tepatnya di belakang masjid. Di bawah pohon rindang beberapa meter dari akhwat-akhwat yang sedang mengadakan halaqoh. Bukan bermaksud genit, tapi di sana emang rame, dan yang memungkinkan kami untuk lesehan ya disana.

Maliboro dan Masha
  
TransJogja kami hentikan di halte Malioboro. Memilih jalan kaki sampai belakang UAD kampus utama. Entah ini gila atau apalah terserah sampeyan yang merasa waras. Meskipun saya tidak ada masa lalu dengan Jogja, menyusuri Malioboro seperti menghadirkan fragmen kehidupan yang pernah saya lewati. Deja Vu.

Semua bergerak cepat di mata saya. Tukang parkir dengan rokok di tangan kirinya yang teriak memarkir kendaraan, pengamen bersuara cempreng yang sok-sokan membawakan lagu-lagu marjinal, bule seksi yang nyerocos dengan bahasa antah berantah, sales minyak wangi yang mencoba menjelaskan merk-merk aneh kepada remaja-remaja labil, motor mobil becak sampai jaran yang berlalu lalang, menjadi keriuhan yang mengasyikkan.

Keriuhan manusia dan tempat-tempat transaksi yang memenuhi setiap ruas jalan membuat maliboro terlihat hidup. Suara musik klasik berpadu dengan bunyi-bunyian alat tradisional dan deru mesin motor menyatu menjadi nada-nada yang, ehm gimana ya, susah dijelaskan.

Tapi saya yakin di beberapa sudut Malioboro juga menjadi saksi dari kegalauan hati yang sepi. Didi kempot ya pernah menggalau disini kog. Dengarkan saja lagunya yang judulnya Malioboro. Mungkin Om Didi mempunyai pengalaman termehek-mehek di jalur 0 kilometer. Mungkin. 

Malioboro seksenono lelakonku...

Abdur mulai bertingkah. Depresiasi rupiah rupanya membuat Abdur agak frustasi. Makanya rupiah yang masih ada di dompet, dia tukarkan di salah tempat penukaran uang asing biar kelihatan tidak murahan, jadilah dolar. Ya meskipun cuma dua dolar tapi lumayan untuk investasi di kemudian hari. Kalau ke Malioboro lagi kan bisa buat sangu jaga-jaga pas luwe.

Hampir sampai ke jalur 0 kilometer kita dikejutkan dengan kemunculan bocah ingusan yang saat ini menjadi idola bagi anak-anak bahkan mahasiswa. Tokoh kartun yang nakalnya subhanAllah banget itu kini hadir di depan batok kepala kita. Siapa lagi kalau bukan Masha. Dan ternyata tokoh kartun yang nganyelke itu tak sekecil yang kita kira. Serius. Ini saya sempat foto bareng.

Iya toh? Ehm, saya tidak bisa membayangkan beruangnya sebesar apa. Kalau sampeyan tertarik foto-foto dengan Masha ya silahkan datang saja ke malioboro. Jangan lupa siapkan recehannya.

Tepat 13.30 waktu jogja kami sampai di garis finish, SMP Muh 2 Yogyakarta. Sebenarnya perjalanan lima jam masih belum memuaskan, tapi lha gimana wong kita udah dicari dan disuruh untuk segera pulang. Satu hal yang akan menjadi kenangan dari perjalanan ini adalah: kaki saya lecet-lecet!!

Lain kali kita akan mengunjungumu lagi, Jogja. 

Never ending exploring.

Minggu, 15 Desember 2014
 

           





   

Komentar

Rekomendasi

Tuhan-Tuhan Kecil

Sebagian manusia dengan segala kelebihannya sadar atau tidak menjelma menjadi Tuhan-Tuhan kecil. Mengatur seenak hati, segala omongannya harus dituruti, dan antikritik. Mengklaim apa yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran dan harus diyakini,diperhatikan,diamalkan. Tanpa mereka sadar bahwa manusia punya banyak kekurangan. Orang-orang seperti ini selalu mengedepankan ego. Ingin selalu didengarkan, ingin selalu diperhatikan, ingin ditempatkan diposisi tertinggi. Tapi disaat bersamaan mereka menutup telinga dari pembicaraan orang luar, acuh terhadap sekitar dan menginjak-injak harga diri orang lain. Bicara masalah perasaan tapi menyakiti perasaan manusia lainnya. Ada semacam inkonsistensi disini. Mungkin mereka lupa bahwa bukan cuma mereka yang memiliki perasaan. Orang lain juga. Antikritik. Mungkin karena pandangan subyektifnya merasa benar maka segala tindak tanduknya dianggap juga benar. Ketika ada teguran dianggap angin lalu saja. Yang lebih parah adalah ketika dit...

Sore Kala Itu

          Sore mengingatkanmu tentangnya. Dia yang hadir membawa setitik keindahan yang sulit dijelaskan. Keindahan yang tercipta dalam diam. Kalian tidak pernah berbicara, hanya saling lempar senyum saat berpapasan. Bagimu sudah cukup. Maka sore adalah waktu yang tak akan kau lewatkan begitu saja. Kau selalu menyempatkan melewati jalan yang biasa kau lewati. Berharap yang kau cari ada disana. Detak jantungmu meningkat begitu sosoknya mulai terlihat. Kau ingin berbalik dan mengurungkan untuk menyapanya. Tapi itu tak akan kau lakukan. Bagimu beberapa detik di sampingnya—meski hanya sesaat, adalah kebahagian yang barangkali sulit terulang. Kau tak selamanya bisa bertemu dengannya, kan? Langkahmu semakin cepat saat dia semakin dekat. Berharap dia tidak melihat wajahmu yang tetiba malui. Kau ingin situasi ini segera berlalu. Namun di sisi lain kau mengharapkan waktu melambat dan mengabadikan senyummnya yang membuatmu tak bisa terlalu la...

Senandika

Semua yang tertanam masih ada kemungkinan akan tercerabut. Semua yang tersembunyi cepat atau lambat akan terlihat. Maka bukalah topengmu , tampakkan wajahmu dengan percaya dirimu. Hancurkan kesombongan-kesombongan yang menguasai hatimu. Hempaskan dendam setinggi-tingginya kemudian pukullah sekeras-kerasnya sampai ia hilang tertelan bumi.   Runtuhkanlah egomu dan akhiri segala dendam yang selama ini kau tanam. Seperti ranjau yang apabila terinjak akan meledak saat itu juga, aku tak ingin melihat kau terluka berdarah-darah. Kalaupun luka itu ringan, kau pasti tak akan pernah menginjakkan kaki di tempat yang sama—tempat yang di dalamnya memendam senjata mematikan.  Aku melihat semangat yang kau bangun mulai memudar. Terhapus oleh keangkuhan dan keegoisan yang makin menjadi-jadi. Wajah yang penuh amarah menjadi pandangan wajib tatkala kau ‘harus’ bertatap muka dengan manusia-manusia itu. Harusnya kau mampu menahan amarahmu dan memberikan sedikit sunggingan seny...