Lipatan waktu membawaku pada satu potongan kisah. Di sana aku
berdiri memandang rumah bambu sederhana. Hanya berteman diam. Aku mulai
melangkah menyusuri setiap jalan setapak demi setapak sambil sesekali menoleh
ke belakang. Memastikan semuanya baik-baik saja.
Potongan gambar beberapa wajah
masih mengusik. Raut wajah mereka begitu tenang tapi guratan-guratan kecil di wajahnya
memendam sebuah pengharapan yang besar. Aku tersenyum simpul kepada potongan
gambar-gambar itu, seolah meyakinkan bahwa semuanya akan berjalan dengan
semestinya. Meski kemudian beberapa kali kakiku terantuk batu.
Aku
sadar-sesadar sadarnya jalanan di depan sangat panjang. “Pergilah” kemudian
energi yang sangat besar mendorongku berlari. Seperti tangan besar yang tak
terlihat. Aku tak tau sesuatu apa yang mendorongku bejalan sampai sejauh ini. Mungkin
manifestasi dari doa-doa itu.
Aku sampai pada tempat yang aku sendiri belum tau pasti
apakah disini semuanya digantungkan.
Janji-janji surga selalu mampu membius siapa saja untuk bertahan dan memberikan
kekuatan. Mimpi-mimpi yang katanya bisa kau gapai dengan semaksimal usaha dan
doa tanpa tepi. Entahlah. Aku begitu banyak menemukan lidah-lidah yang pandai
bermain kata. Tangan-tangan gesit yang terampil menata mozaik-mozaik hidup.
Atau pribadi toleran yang terkesan plin-plan. Tapi aku masih percaya tempat ini
kelak akan menjadi sejarah mengagumkan bagi diriku berikut dengan cerita-cerita
yang tak kan pernah padam.
Mungkin terlalu lambat bagaimana caraku memahami semuanya.
Sadarku hanya sebatas panjangnya jalan tapi belum sampai pada apa yang akan ditemui di jalan itu. Sampai kemudian aku bertemu dengan manusia-manusia getir dengan semangat juang dan mimpi yang tidak biasa. Tidak terlalu vokal,
menurut mereka. Semua orang berhak mengaitkan mimpi setinggi-tingginya. Mimpi
itulah pelecut yang menerbitkan pintu-pintu harapan. Satu hal yang aku ingat
dari mereka “Kita semua yang disini nanti akan jadi pemimpin”. Kutanggapi
dengan biasa. Anggap saja celotehan. Tapi kata-kata itu bergerak bak mantra. Ketika
beberapa ucapannya mulai terbukti dan aku mulai terbentuk oleh guna-gunanya.
Kemudian aku menemukan sebuah keluarga yang kelak
mengajarkanku banyak hal. Sesuatu yang tidak pernah diajarkan di sekolahku
dulu. Alasan untukku tetap bergerak tanpa kenal waktu. Di sana entah sudah berapa kali hitungan kita membunuh
waktu dengan derai tawa. Beberapa kali juga aku mampu dibuat terjatuh dan
bersimpuh. Memendam perasaan yang hanya menggumpal pada kepalan-kepalan tangan
tak tersalurkan. Kesabaranku benar-benar diuji. Sebuah proses panjang
mengantarkanku pada loncatan pemikiran. Pemaknaan terhadap hidup. Bukankah
Socrates pernah mengatakan “Hidup yang tak direflesikan adalah hidup yang tak
layak untuk dijalani?”
Hujan turun dengan lebat. Membasahi setiap jengkal tanah.
Jejak-jejak hitam yang kutorehkan lambat laun dihilangkan oleh orang-orang yang
bersifat seperti hujan itu. Dia menyegarkan dan memberikan ketenangan. Tapi kau
pasti tau bahwa hujan juga sanggup menciptakan banjir yang akan menggilas siapa
saja yang ada dalam radar jangkauannya.
Mencintai air harus menjadi ricik, sampai-sampai hujan yang kesekian kalinya kerap menemani perjalanan cinta kita. Hujan di langit itu, hujan di matamu
Pun, seberapa gawat dan gentingnya efek
yang ditimbulkan hujan itu, aku tetaplah pecinta hujan dengan segala
kelemahannya. Dia adalah kawan yang menyenangkan. Entah dia datang untuk
belajar atau mengajarkan, untuk sementara atau selamanya, untuk menjadi bagian
terpenting atau hanya sekedar saja. Apapun itu, jalani dengan tulus.
Komentar